Selasa, 02 Desember 2008
Contact Person
Padmasana, Padmasari, Surya, Tugu dan Aneka Bangunan dari Batu Alam.
Product A
Etimologi
Kata padmasana berasal dari bahasa Sansekerta, menurut Kamus Jawa Kuna-Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. P.J. Zoetmulder (Penerbit Gramedia, 1995) terdiri dari dua kata yaitu : "padma" artinya bunga teratai dan "asana" artinya sikap duduk. Hal ini juga merupakan sebuah posisi duduk dalam yoga.
Arti
Bunga teratai dipilih sebagai symbol yang tepat menggambarkan kesucian dan keagungan Hyang Widhi (Tuhan) karena memenuhi unsur-unsur :
- Helai daun bunganya berjumlah delapan sesuai dengan jumlah manifestasi Hyang Widhi di arah delapan penjuru mata angin sebagai kedudukan Horizontal : Timur (Purwa) sebagai Iswara, Tenggara (Agneya) sebagai Maheswara, Selatan (Daksina) sebagai Brahma, Barat Daya (Nairiti) sebagai Rudra, Barat (Pascima) sebagai Mahadewa, Barat Laut (Wayabya) sebagai Sangkara, Utara (Uttara) sebagai Wisnu, Timur Laut (Airsanya) sebagai Sambhu.
- Puncak mahkota berupa sari bunga yang menggambarkan symbol kedudukan Hyang Widhi secara vertikal dalam manifestasi sebagai : Siwa (adasthasana/dasar), Sadasiwa (madyasana/tengah) dan Paramasiwa (agrasana/puncak).
- Bunga teratai hidup di tiga alam yaitu tanah/lumpur disebut pertiwi, air disebut apah, dan udara disebut akasa. Bunga teratai merupakan sarana utama dalam upacara-upacara Panca Yadnya dan juga digunakan oleh Pandita-Pandita ketika melakukan surya sewana (pemujaan Matahari).
Dilihat dari bentuk bangunan Padmasana, dibedakan adanya lima jenis Padmasana yaitu:
1. Padma Anglayang = memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tujuh dan di puncaknya ada tiga ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa stana Trimurti.
2. Padma Agung = memakai dasar bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada dua ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Ardanareswari yaitu kekuatan/ kesaktian Hyang Widhi sebagi pencipta segala yang berbeda misalnya: lelaki-perempuan, siang-malam, kiri (pengiwa) - kanan (penengen), dst.
3. Padmasana = memakai bhedawangnala, bertingkat lima dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan selain sebagai niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa, juga sebagai niyasa Sanghyang Tunggal yaitu Hyang Widhi Yang Maha Esa.
4. Padmasari = tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat tiga dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan hanya untuk niyasa stana Sanghyang Siwa Raditya atau Sanghyang Tripurusa.
5. Padma capah = tidak memakai dasar bhedawangnala, bertingkat dua dan di puncaknya ada satu ruang. Digunakan untuk niyasa stana Hyang Widhi dalam manifestasi sebagai Baruna (Dewa lautan)
Pemilihan bentuk kelima jenis Padmasana itu berdasar pertimbangan kemampuan penyungsung melaksanakan upacara, baik ketika mendirikannya maupun pada setiap hari piodalannya. Oleh karena itu dipertimbangkan juga jumlah penyungsungnya. Makin banyak penyungsungnya makin "utama" bentuk padmasana, sesuai dengan urutan di atas.
http://id.wikipedia.org/wiki/Padmasana
Pedoman Dasar Membangun Padmasana
1. Pendahuluan:
Dalam kenyataan sekarang banyak sekali terdapat variasi bangunan Padmasana baik mengenai bentuk, tata letak, maupun hiasan yang digunakan. Atas dasar tersebut diadakanlah seminar dengan salah satu topik yang berjudul Standarisasi bentuk Padmasana, dengan tujuan mendapat kesatuan pendapat bentuk bangunan Padmasana yang bisa digunakan sebagai pedoman dasar dalam pembangunan Padmasana.
Pada sidang komisi disepakati untuk menyesuaikan judul lama dengan judul baru : Pedoman dasar pembangunan Padmasana, untuk memberikan sifat keluwesan dengan tidak mengurangi nilai tattwanya. Bahan dasar sebagai sumber penulisan adalah : Prasaran, pembahasan, urun pendapat dan para peserta baik dalam sidang- sidang pleno maupun sidang- sidang komisi.
2. Pengertian.
a. Tattwa.
Tattwa Padmasana bersumber pada kitab- kitab Weda (Sruti dan Smrti) serta kitab- kitab yang memuat ajaran Siwa Sidanta, secara khusus dimuat dalam Lontar Anda bhuwana, Padma bhuwana, dan Adi Parwa. Pada prinsipnya Padmasana adalah pengejawantahan bhuwana agung (alam raya) sebagai stana Ida Sanghyang Widhi. Bhuwana Agung disimbulkan dengan Bedawang Nala (Kurma Agni) yang dililit oleh Naga yang menyangga lingga. Adi Parwa menceritakan pencarian Amerta dengan memutarkan Mandara Giri/ Gunung Mandara di dalam Ksirarnawa (lautan susu). Dalam pemutaran Mandara Gin tersebut Naga Anantabhoga mencabut gunung Mandara, Bedawang Nala menyangganya, Naga Basuki melilit, dan para Dewa dan raksasa memutarnya. Akhirnya Wisnu yang mengendarai Garuda menguasai Amerta tersebut.
b. Fungsi.
Umat Hindu dalam usaha mendekatkan diri dan memuja Hyang Widhi menjadikan Padmasana sebagai sarana menstanakan Hyang Widhi.
3. Bentuk.
Secara umum bentuk bangunan Padmasana dibagi atas tiga bagian:
a. Tepas (dasar)
Dasar Padmasana didukung oleh Bedawang Nala yang dibelit oleh Naga. Mengenai masalah Naga bisa berjumlah satu sebagai simbul Hyang Wasuki dan dapat pula dua sebagai simbul Hyang Wasuki dan Anantabhoga.
b. Batur (badan).
Pada badan Padmasana terdapat pepalihan (tingkat yang berjumlah gasal 5, 7, dan 9) dan hiasan Garuda serta angsa di atasnya juga terdapat arca Astadikpalaka yang letaknya sesuai dengan pengider- ider.
c. Sari(puncak).
Puncak Padmasana berbentuk Singasana yang terdiri dan ulon, tabing dan badan dara. Pada ulon dapat diisi pahatan berwujud Hyang Acintya. Bagian atas dari tabing sebaiknya tidak ada bentuk- bentuk hiasan karena sudah menggambarkan alam swah.
4. Tata letak.
a. Prinsip dasar letak padmasana sebagai bangunan pemujaan Ida Sanghyang Widhi Wasa mengambil tempat pada daerah yang paling utama.
b. Faktor- faktor penentuan daerah utama.
- Arah atas, sesuai dengan nilai- nilai tri loka.
- Arah Timur, sesuai dengan arah perputaran bumi/ terbitnya matahari.
- Arah Kaja sesuai dengan letak gunung/ pegunungan.
c. Pilihan tata letak.
- Secara mendatar.
- Timur.
- Kaja.
- Kaja Kangin.
- Secara vertikal
- atas.
5. Upacara/ upakara.
a. Nasarin (peletakan batu pertama).
- Ngeruwak sesuai dengan keputusan Pesamuhan Agung Tahun 1987.
- Penggalian". lubang untuk dasar.
- Penyucian lubang bisa sampai tingkatan mebumi sudha.
- Persembahyangan dengan puja pengantar Ananta Boga stawa dan Pertiwi stawa. Bunga atau kawangen yang telah dipakai diletakkan pada lubang sebagian dasar.
- Peletakan dasar dengan materi sesuai dengan keputusan Pesamuhan Agung tahun 1988.
b. Melaspas.
Upakara- upakara berupa pedagingan, orti, dan sesaji sesuai dengan lontar Dewa Tattwa, wariga, Catur Winasa Sari dan Kesuma Dewa.
http://www.babadbali.com/canangsari/hkt-padmasana-membangun.htm
PADMASANA, "STANA" HYANG WIDHI YANG JUGA SIMBOLIS ALAM SEMESTA
DI Lontar "Dwijendra Tattwa" disebut, pelinggih berbentuk Padmasana dikembangkan oleh Danghyang Dwijendra, atau (nama lainnya) Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh. Dia datang ke Bali pada tahun 1489 M pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550 M) dengan tujuan untuk menyempurnakan kehidupan agama di Bali.
Sebelum kedatangannya, agama Hindu di Bali telah berkembang dengan baik -- penduduk memuja Hyang Widhi terbatas dalam kedudukan-Nya secara horizontal. Ajaran itu diterima dari para maharsi yang datang ke Bali sejak abad ke-8, seperti Rsi Markandeya, Mpu Kuturan, Danghyang Siddimantra, Danghyang Manik Angkeran, Mpu Jiwaya, Mpu Gnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana, dan Mpu Bharadah. Bentuk-bentuk pelinggih sebagai simbol atau niyasa ketika itu hanya Meru Tumpang Tiga, Kemulan Rong Tiga, Bebaturan, dan Gedong. Pura-pura di Bali pada saat itu tidak ada yang memakai Padmasana, kondisi ini sampai sekarang masih dijumpai terutama pada pura-pura kuno di Bali.
Disebutkan, pada saat memasuki Pulau Bali, Danghyang Dwijendra masuk ke dalam mulut naga besar dan di dalamnya ia melihat bunga teratai sedang mekar tanpa sari. Hal ini menggambarkan, naga itu adalah Naga Anantabhoga yang merupakan simbol dari Pulau Bali. Agama Hindu sudah berkembang di Bali dengan baik tetapi pemujaan hanya ditujukan kepada dewa-dewa sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi. Dewa-dewa inilah yang disimbolkan sebagai daun bunga teratai yang mekar tanpa sari.
Danghyang Nirartha lalu menganjurkan penduduk Bali menambah bentuk pelinggih berupa Padmasana, menyempurnakan simbol (niyasa) yang mewujudkan Hyang Widhi secara lengkap ditinjau dari segi konsep horisontal maupun vertikal. Sehingga, pembangunan Padmasana dapat menjernihkan kekaburan yang terjadi secara fisik bangunan antara pelinggih pemujaan untuk Hyang Widhi dan pelinggih untuk roh suci leluhur yang terjadi saat itu. Sehingga kini, Padmasana dapat dijumpai di seluruh pura di Bali maupun luar Bali sebagai bangunan pelinggih utama.
Makna dan Simbol
Padmasana berasal dari bahasa Kawi, padma artinya bunga teratai, batin, atau pusat. Sedangkan asana artinya sikap duduk, tuntunan, nasihat, atau perintah (Prof. Drs. Wojowasito, 1977). Padmasana berarti tempat duduk dari teratai merah sebagai stana suci Tuhan Yang Maha Esa (I Made Titib, 2001). Berdasarkan dua pendapat ini, bahwa bunga teratai adalah simbol dari tempat duduk dari dewa-dewa dan Hyang Widhi sehingga Padmasana tidak lain dari gambaran alam semesta (makrokosmos) yang merupakan stana dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Dalam Lontar "Padma Bhuana", Mpu Kuturan menyatakan bahwa Bali sebagai Padma Bhuwana. Bunga teratai (padma) dijadikan simbol alam semesta stana Hyang Widhi yang sebenarnya. Dalam Lontar "Dasa Nama Bunga" disebut, bunga teratai adalah rajanya bunga (Raja Kesuma) karena hidup di tiga alam -- akarnya menancap di lumpur, batangnya di air, sedangkan daun dan bunganya di atas air (udara). Karenanya, bunga ini adalah simbol Tri Loka atau Tri Bhuwana Stana Hyang Widhi Wasa dan bunga daunnya yang berlapis-lapis sebagai perlambang dari sembilan arah penjuru mata angin alam semesta (I Ketut Wiana, 2004).
Posisi padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Mungkin ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan, bahkan pada bagian puncak Padmasana tampak berbentuk singhasana berbentuk kursi persegi empat. Hal ini akan terjawab kalau orang memperhatikan pesimpen pancadatu atau pedagingan yang ditanamkan di dasar, di madya, maupun di puncak dari Padmasana (Cudamani, 1998).
Isi pedagingan pesimpen itu, terutama pedagingan puncak yang berbentuk padma terbuat dari emas, diletakkan paling atas di atas singhasana yang berbentuk kursi persegi empat ini. Karena ditanam, meskipun terletak di puncak, benda itu tidak terlihat dari luar. Rupanya pedagingan berbentuk padma dari emas inilah yang memberi nama bangunan itu sehingga bernama Padmasana -- Dewa-dewa dan Ida Sang Hyang Widi bertahta di atasnya.
Bentuk dan Fungsi
Bentuk bangunan Padmasana serupa dengan candi yang dikembangkan dengan pepalihan. Padmasana tidak menggunakan atap. Bangunannya terdiri dari bagian-bagian kaki yang disebut tepas, badan atau batur dan kepala yang disebut sari.
* Pada bagian kaki (dasar) terdapat ukiran berwujud Bedawang Nala (empas atau kura-kura) yang dibelit Naga Anantaboga dan Naga Basuki. Kemudian juga ada ukiran bunga teratai dan karang asti (gajah).
* Pada bagian badan (tengah) terdapat ragam hias berupa pepalihan, karang goak, simbar, karang asti, burung garuda, angsa, dan patung dewa-dewa astadikpalaka (dewa-dewa penjaga kiblat arah angin) seperti Dewa Iswara (timur), Brahma (selatan), Mahadewa (barat), Wisnu (utara), Maeswara (tenggara), Rudra (barat daya), Sankara (barat laut) dan Sambhu (timur laut) dan dewa ini membawa senjata sesuai dengan atributnya. Ada juga Padmasana dengan burung garuda yang mendukung Dewa Wisnu membawa tirta amerta seperti Padmasana di Pura Taman Ayun.
* Pada bagian kepala (sari) terdapat singhasana yang diapit naga tatsaka yang terbuat dari paras yang diukir sesuai bentuknya. Pada belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya atau Sang Hyang Taya sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta.
Fungsi utama Padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Di situlah Tuhan dipuja dalam fungsinya sebagai jiwa alam semesta (makrokosmos) dengan segala aspek kemahakuasaanya. Padmasana adalah niyasa atau simbol stana Hyang Widhi dengan berbagai sebutannya -- Sanghyang Siwa Raditya (dalam manifestasi yang terlihat/dirasakan manusia sebagai matahari atau surya) dan Sanghyang Tri Purusa (dalam tiga manifestasi yang manunggal yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa dan Parama Siwa). Di Pura Besakih ada Padmasana berjejer tiga, di situ di-stana-kan Parama Siwa (tengah), Sadasiwa (kanan) dan Sang Hyang Siwa (kiri).
Memperhatikan makna niyasa tersebut, jelaslah bahwa makna Padmasana adalah niyasa yang digunakan Hindu dari sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa. Danghyang Nirartha yang mengembangkan bentuk niyasa Padmasana adalah pandita dari kelompok Hindu sekte Siwa Sidhanta. Sedangkan Padmasari dan Padmacapah dapat ditempatkan menyendiri yang berfungsi sebagai pengayatan atau penyawangan.
http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/2463.htm
Product C
Sanggah Pamerajan
7 December 2006
Posted by ananta in tattva.
trackback
oleh: Bhagawan Dwija
1. Sanggah Pamerajan berasal dari kata : Sanggah, artinya Sanggar, = tempat suci; Pamerajan berasal dari Praja = keluarga. Jadi Sanggah Pamerajan artinya = tempat suci bagi suatu keluarga tertentu. Untuk singkatnya orang menyebut secara pendek : Sanggah, atau Merajan. Tidak berarti bahwa Sanggah untuk orang Jaba, sedangkan Merajan untuk Triwangsa. Yang satu ini kekeliruan di masyarakat sejak lama, perlu diluruskan
2. Sanggah Pamerajan, ada tiga versi :
a. Yang dibangun mengikuti konsep Mpu Kuturan
b. Yang dibangun mengikuti konsep Danghyang Nirarta
c. Kombinasi keduanya.
2a. : Yang mengikuti konsep Mpu Kuturan (Trimurti) maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Kemulan (Rong Tiga, Dua, Satu), tidak mempunyai pelinggih Padmasana/Padmasari.
2b. : Yang mengikuti konsep Danghyang Nirarta (Tripurusha), maka pelinggih yang letaknya di ‘hulu’ (kaja-kangin) adalah pelinggih Padmasana/Padmasari, sedangkan pelinggih Kemulan tidak berada di Utama Mandala.
2.c. : Yang kombinasi, biasanya dibangun setelah abad ke-14, maka pelinggih Padmasana/Padmasari tetap di ‘hulu’, namun disebelahnya ada pelinggih Kemulan.
Trimurti, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Ang - Ung - Mang (AUM = OM) atau Brahma, Wisnu, Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam
posisi horizontal, dimana Brahma di arah Daksina, Wisnu di Uttara, dan Siwa di Madya.
Tripurusha, adalah keyakinan stana Sanghyang Widhi sesuai dengan Siwa - Sada Siwa - Parama Siwa, adalah kedudukan Sanghyang Widhi dalam posisi vertikal, dimana Parama Siwa yang tertinggi kemudian karena terpengaruh Maya menjadilah Sada Siwa, dan Siwa.
Yang mana yang baik/tepat ?
1. Menurut keyakinan anda masing-masing.
2. Namun ada acuan, bahwa konsep Mpu Kuturan disebarkan di Bali pada abad ke-11. Konsep Danghyang Nirarta dikembangkan di Bali sejak abad ke-14, berdasarkan wahyu yang diterima beliau di Purancak/Jembrana.
3. Jadi menurut pendapat saya, memakai kedua konsep, atau kombinasi a dan b adalah yang tepat karena kita menghormati kedua-duanya, dan kedua-duanya itu benar, mengingat Sanghyang Widhi ada dimana-mana, baik dalam kedudukan horizontal maupun dalam kedudukan vertikal.
Namun demikian tidaklah berarti Sanggah Pamerajan yang sudah kita warisi berabad-abad lalu dibongkar, karena dalam setiap upacara, toh para Sulinggih sudah ‘ngastiti’ Bhatara Siwa Raditya (Tripurusha) dan juga Bhatara Hyang Guru (Trimurti)
1. Sanggah Pamerajan dibedakan menjadi 3 :
a. Sanggah Pamerajan Alit (milik satu keluarga kecil)
b. Sanggah Pamerajan Dadia (milik satu soroh terdiri dari beberapa ‘purus’ (garis keturunan)
c. Sanggah Pamerajan Panti (milik satu soroh terdiri dari beberapa Dadia dari lokasi Desa yang sama),
2. Pelinggih di Sanggah Pamerajan (SP) :
a. SP Alit : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu
b. SP Dadia : Padmasana, Kemulan Rong Tiga, Limas Cari, Limas Catu, Manjangan Saluang, Pangrurah, Saptapetala, Taksu, Raja Dewata.
c. SP Panti = SP Dadia ditambah dengan Meru atau Gedong palinggih Bhatara Kawitan.
Palinggih-palinggih lainnya yang tidak teridentifikasi seperti tersebut diatas, disebut ‘pelinggih wewidian’ yaitu pelinggih yang berhubungan dengan sejarah hidup leluhur di masa lampau, misalnya mendapat paica, atau kejumput oleh Ida Bhatara di Pura lain, misalnya dari Pura Pulaki, Penataran Ped, Bukit Sinunggal, dll, maka dibuatkanlah pelinggih khusus berbentuk limas atau sekepat sari. Pada beberapa SP sering dijumpai
pelinggih wewidian ini jumlahnya puluhan, berjejer. Namun disayangkan karena leluhur kita di masa lampau terkadang lupa menuliskan riwayat hidup beliau, sehingga keturunannya sekarang banyak yang tidak tahu, pelinggih apa saja yang ada di SP-nya.
Pelinggih-pelinggih umum yang terdapat di Sanggah Pamerajan adalah stana dalam niyasa Sanghyang Widhi dan roh leluhur yang dipuja :
1. Padmasana/Padmasari : Sanghyang Tri Purusha, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Siwa - Sada Siwa - Parama Siwa.
2. Kemulan rong tiga : Sanghyang Trimurti, Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Brahma - Wisnu - Siwa atau disingkat Bhatara Hyang Guru. Ada juga kemulan
rong 1 (Sanghyang Tunggal), rong 2 (Arda nareswari), rong 4 (Catur Dewata), rong lima (Panca Dewata)
3. Sapta Petala : Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai pertiwi dengan tujuh lapis : patala, witala, nitala, sutala, tatala, ratala, satala. Sapta petala juga berisi patung naga sebagai symbol naga Basuki, pemberi kemakmuran.
4. Taksu : Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai Bhatari Saraswati (sakti Brahma) penganugrah pengetahuan.
5. Limascari dan limasctu : Sanghyang Widhi dalam manifestasi sebagai ardanareswari : pradana - purusha, rwa bhineda.
6. Pangrurah : Sanghyang Widhi sebagai manifestasi Bhatara Kala, pengatur kehidupan dan waktu
7. Manjangan Saluwang : pelinggih sebagai penyungsungan Mpu Kuturan, mengingat jasa-jasa beliau yang meng-ajegkan Hindu di Bali.
8. Raja-Dewata : pelinggih roh para leluhur (dibawah Bhatara Kawitan)
ASTA KOSALA DAN ASTA BUMI
[Ketut Adi]
Om Swastyastu,
ASTA KOSALA dan ASTA BUMI.
Yang dimaksud dengan Asta Kosala adalah aturan tentang bentuk-bentuk niyasa (symbol) pelinggih, yaitu ukuran panjang, lebar, tinggi, pepalih (tingkatan) dan hiasan. Yang dimaksud dengan Asta Bumi adalah aturan tentang luas halaman Pura, pembagian ruang halaman, dan jarak antar pelinggih. Aturan tentang Asta Kosala dan Asta Bumi ditulis oleh Pendeta : Bhagawan Wiswakarma dan Bhagawan Panyarikan. Uraian mengenai Asta Kosala khusus untuk bangunan Padmasana telah dikemukakan pada bab : Hiasan Padmasana, Bentuk-bentuk Padmasana dan Letak Padmasana.
Asta Bumi menyangkut pembuatan Pura atau Sanggah Pamerajan adalah sebagai berikut :
1) Tujuan Asta Bumi adalah :
a) Memperoleh kesejahteraan dan kedamaian atas lindungan Hyang Widhi. b) Mendapat vibrasi kesucian.
c) Menguatkan bhakti kepada Hyang Widhi.
2) Luas halaman :
a) Memanjang dari Timur ke Barat ukuran yang baik adalah : Panjang dalam ukuran "depa" (bentangan tangan lurus dari kiri ke kanan dari pimpinan/klian/Jro Mangku atau orang suci lainnya) : 2,3,4,5,6,7,11,12,14,15,19. Lebar dalam ukuran depa :
1,2,3,4,5,6,7,11,12,14,15. Alternatif total luas dalam depa : 2x1,3x2, 4x3, 5x4, 6x5, 7x6, 11x7, 12x11, 14x12, 15x14, 19x15. b) Memanjang dari Utara ke Selatan ukuran yang baik adalah : Panjang dalam ukuran depa : 4,5,6,13,18. Lebar dalam ukuran depa : 5,6,13. Alternatif total luas dalam depa : 6x5, 13x6, 18x13. Jika halaman sangat luas, misalnya untuk membangun Padmasana kepentingan orang banyak seperti Pura Jagatnatha, dll. boleh menggunakan kelipatan dari alternatif yang tertinggi. Kelipatan itu : 3 kali, 5 kali, 7 kali, 9 kali dan 11 kali. Misalnya untuk halaman yang memanjang dari Timur ke Barat, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah : 3x(19x15), 5x(19x15), 7x(19x15), 9x(19x15), 11x(19x15). Untuk yang memanjang dari Utara ke Selatan, alternatif luas maksimum dalam kelipatan adalah : 3x(18x13), 5x(18x13), 7x(18x13), 9x(18x13), 11x(18x13).
HULU-TEBEN.
"Hulu" artinya arah yang utama, sedangkan "teben" artinya hilir atau arah berlawanan dengan hulu. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ada dua patokan mengenai hulu yaitu
1) Arah Timur, dan
2) Arah "Kaja"
Mengenai arah Timur bisa diketahui dengan tepat dengan menggunakan kompas. Arah kaja adalah letak gunung atau bukit. Cara menentukan lokasi Pura adalah menetapkan dengan tegas arah hulu, artinya jika memilih timur sebagai hulu agar benar-benar timur yang tepat, jangan melenceng ke timur laut atau tenggara. Jika memilih kaja sebagai hulu, selain melihat gunung atau bukit juga perhatikan kompas. Misalnya jika gunung berada di utara maka hulu agar benar-benar di arah utara sesuai kompas, jangan sampai melenceng ke arah timur laut atau barat laut, demikian seterusnya. Pemilihan arah hulu yang tepat sesuai dengan mata angin akan memudahkan membangun pelinggih-pelinggih dan memudahkan pelaksanaan upacara dan arah pemujaan.
BENTUK HALAMAN.
Bentuk halaman pura adalah persegi empat sesuai dengan ukuran Asta Bumi sebagaimana diuraikan terdahulu. Jangan membuat halaman pura tidak persegi empat misalnya ukuran panjang atau lebar di sisi kanan - kiri berbeda, sehingga membentuk halaman seperti trapesium, segi tiga, lingkaran, dll. Hal ini berkaitan dengan tatanan pemujaan dan pelaksanaan upacara, misalnya pengaturan meletakkan umbul-umbul, penjor, dan Asta kosala.
PEMBAGIAN HALAMAN.
Untuk Pura yang besar menggunakan pembagian halaman menjadi tiga yaitu :
1) Utama Mandala,
2) Madya Mandala, dan
3) Nista Mandala.
Ketiga Mandala itu merupakan satu kesatuan, artinya tidak terpisah-pisah, dan tetap berbentuk segi empat; tidak boleh hanya utama mandala saja yang persegi empat, tetapi madya mandala dan nista mandala berbentuk lain. Utama mandala adalah bagian yang paling sakral terletak paling hulu, menggunakan ukuran Asta Bumi; Madya Mandala adalah bagian tengah, menggunakan ukuran Asta Bumi yang sama dengan utama Mandala; Nista Mandala adalah bagian teben, boleh menggunakan ukuran yang tidak sama dengan utama dan nista mandala hanya saja lebar halaman tetap harus sama. Di Utama mandala dibangun pelinggih-pelinggih utama, di madya mandala dibangun sarana-sarana penunjang misalnya bale gong, perantenan (dapur suci), bale kulkul, bale pesandekan (tempat menata banten), bale pesamuan (untuk rapat-rapat), dll. Di nista mandala ada pelinggih "Lebuh" yaitu stana Bhatara Baruna, dan halaman ini dapat digunakan untuk keperluan lain misalnya parkir, penjual makanan, dll. Batas antara nista mandala dengan madya mandala adalah "Candi Bentar" dan batas antara madya mandala dengan utama mandala adalah "Gelung Kori", sedangkan nista mandala tidak diberi pagar atau batas dan langsung berhadapan dengan jalan.
MENETAPKAN PEMEDAL.
Pemedal adalah gerbang, baik berupa candi bentar maupun gelung kori.
Cara menetapkan pemedal sebagai berikut :
1) Ukur lebar halaman dengan tali.
2) Panjang tali itu dibagi tiga.
3) Sepertiga ukuran tali dari arah teben adalah "as" pemedal. Dari as ini ditetapkan lebarnya gerbang apakah setengah depa atau satu depa, tergantung dari besar dan tingginya bangunan candi bentar dan gelung kori. Yang dimaksud dengan teben dalam ukuran pemedal ini adalah arah yang bertentangan dengan hulu dari garis halaman pemedal. Misalnya hulu halaman Pura ada di Timur, maka teben dalam menetapkan gerbang tadi adalah utara, kecuali di utara ada gunung maka tebennya selatan, demikian seterusnya. Penetapan gerbang candi bentar dan gelung kori ini penting untuk menentukan letak pelinggih sesuai dengan asta kosala.
JARAK ANTAR PELINGGIH.
Jarak antar pelinggih yang satu dengan yang lain dapat menggunakan ukuran satu "depa", kelipatan satu depa, "telung tapak nyirang", atau kelipatan telung tapak nyirang. Pengertian "depa" sudah dikemukakan di depan, yaitu jarak bentangan tangan lurus dari ujung jari tangan kiri ke ujung jari tangan kanan. Yang dimaksud dengan "telung tampak nyirang" adalah jarak dari susunan rapat tiga tapak kaki kanan dan kiri (dua kanan dan satu kiri) ditambah satu tapak kaki kiri dalam posisi melintang. Baik depa maupun tapak yang digunakan adalah dari orang yang dituakan dalam kelompok "penyungsung" (pemuja) Pura. Jarak antar pelinggih dapat juga menggunakan kombinasi dari depa dan tapak, tergantung dari harmonisasi letak pelinggih dan luas halaman yang tersedia. Jarak antar pelinggih juga mencakup jarak dari tembok batas ke pelinggih-pelinggih. Ketentuan-ketentuan jarak itu juga tidak selalu konsisten, misalnya jarak antar pelinggih menggunakan tapak, sedangkan jarak ke "Piasan" dan Pemedal (gerbang) menggunakan depa. Ketentuan ini juga berlaku bagi bangunan dan pelinggih di Madya Mandala.
PELINGGIH (STANA) YANG DIBANGUN.
Jika bangunan inti hanya Padmasana, sebagaimana tradisi yang ada di luar Pulau Bali, maka selain Padmasana dibangun juga pelinggih:
TAKSU sebagai niyasa pemujaan Dewi Saraswati yaitu saktinya Brahma yang memberikan manusia kemampuan belajar/mengajar sehingga memiliki pengetahuan, dan
PANGRURAH sebagai niyasa pemujaan Bhatara Kala yaitu "putra" Siwa yang melindungi manusia dalam melaksanakan kehidupannya di dunia. Bangunan lain yang bersifat sebagai penunjang adalah :
PIYASAN yaitu bangunan tempat bersemayamnya niyasa Hyang Widhi ketika hari piodalan, dimana diletakkan juga sesajen (banten) yang dihaturkan.
BALE PAMEOSAN adalah tempat Sulinggih memuja. Di Madya Mandala dibangun
BALE GONG, tempat gambelan,
BALE PESANDEKAN, tempat rapat atau menyiapkan diri dan menyiapkan banten sebelum masuk ke Utama Mandala.
BALE KULKUL yaitu tempat kulkul (kentongan) yang dipukul sebagai isyarat kepada pemuja bahwa upacara akan dimulai atau sudah selesai.
Jika ingin membangun Sanggah pamerajan yang lengkap, bangunan niyasa yang ada dapat "turut" 3,5,7,9, dan 11. "Turut" artinya "berjumlah".
Turut 3 : Padmasari, Kemulan Rong tiga (pelinggih Hyang Guru atau Tiga Sakti : Brahma, Wisnu, Siwa), dan Taksu. Jenis ini digunakan oleh tiap keluarga di rumahnya masing-masing.
Turut 5 : Padmasari, Kemulan Rong Tiga, Taksu, Pangrurah, "Baturan Pengayengan" yaitu pelinggih untuk memuja ista dewata yang lain.
Turut 7 : adalah turut 5 ditambah dengan pelinggih Limas cari (Gunung Agung) dan Limas Catu (Gunung Lebah). Yang dimaksud dengan Gunung Agung dan Gunung Lebah (Batur) adalah symbolisme Hyang Widhi dalam manifestsi yang menciptakan "Rua Bineda" atau dua hal yang selalu berbeda misalnya : lelaki dan perempuan, siang dan malam, dharma dan adharma, dll.
Turut 9 adalah turut 7 ditambah dengan pelinggih Sapta Petala dan Manjangan Saluwang. Pelinggih Sapta Petala adalah pemujaan Hyang Widhi sebagai penguasa inti bumi yang menyebabkan manusia dan mahluk lain dapat hidup. Manjangan Saluwang adalah pemujaan Mpu Kuturan sebagai Maha Rsi yang paling berjasa mempertahankan Agama Hindu di Bali.
Turut 11 adalah turut 9 ditambah pelinggih Gedong Kawitan dan Gedong Ibu. Gedong Kawitan adalah pemujaan leluhur laki-laki yang pertama kali datang di Bali dan yang mengembangkan keturunan. Gedong Ibu adalah pemujaan leluhur dari pihak wanita (istri Kawitan).
Cara menempatkan pelinggih-pelinggih itu sesuai dengan konsep Hulu dan Teben, dimana yang diletakkan di hulu adalah Padmasari/Padmasana, sedangkan yang diletakkan di teben adalah pelinggih berikutnya sesuai dengan turut seperti diuraikan di atas. Bila halamannya terbatas sedangkan pelinggihnya perlu banyak, maka letak bangunan dapat berbentuk L yaitu berderet dari pojok hulu ke teben kiri dan ke teben kanan.
Om Santi,santi,santi, Om
Ida Pandita Nabe Sri Bhagawan Dwija Warsa Nawa Sandhi,
Geria Tamansari Lingga Ashrama, Jalan Pantai Lingga, Banyuasri, Singaraja, Bali.
BALE KULKUL SEBAGAI BANGUNAN PENANDA PENDUKUNG KARAKTER KOTA BUDAYA
Bale kulkul merupakan suatu bangunan bale untuk menggantung kulkul sehingga dapat berfungsi sebagai sarana komunikasi masyarakat Bali. Bale kulkul yang dikelompokkan dalam beberapa jenis, pada awalnya banyak ditemukan di pura, puri, dan banjar. Pada perkembangannya, bale kulkul juga berfungsi sebagai pos satpam, ruang genset, lift shaft, tower air, kantor kelian banjar ataupun gudang simpan. Kajian ini mengetengahkan evaluasi terhadap perkembangan fungsi bale kulkul yang terjadi di masyarakat melalui transformasi, fenomena both-and, dan resultan kompleksitas. Pengambilan sampel dilakukan di pura, puri, banjar dan fasilitas pariwisata seperti hotel, kantor biro perjalanan serta pertokoan. Dengan bentuk yang menjulang tinggi menyerupai menara, bale kulkul juga berfungsi sebagai bangunan penanda yang mendukung karakter kota budaya.
(Bale Kulkul is a bale edifice to hang up the kulkul (wooden bell) so it can function as communicative facility for Balinese community. Bale kulkul which is grouped into several types, firstly found in temples, palaces and banjar. Later in its development, bale kulkul also functions as security post, generator room, lift shaft, water tower, office for head of banjar as well as warehouse. This research focuses on the evaluation of functional development of bale kulkul happened in society due to transformation, “both-end” phenomenon and resultant of the complexities. The samples are taken from temples, palaces, banjar and tourism facilities, such as hotels, travel bureau office as well as shopping centers. With its impress tall building like a minaret, bale kulkul also function as node to support the character of cultural town)
Keywords: bale kulkul, node, character of cultural town.
A. A. Ayu Oka Saraswati
Dosen Sejarah Arsitektur, Universitas Udayana Bali
e-mail: saraswati@dps.centrin.net.id